Posted by rampak naong - -

Saya ketika mengisi kegiatan taman baca

Lapa Taman sebuah desa di pojok timur  kabupaten sumenep, diapit oleh desa lapa daya di sebelah timurnya dan lombang sebelah baratnya. Desa ini masuk kecamatan Dungkek, sebuah kecamatan daratan yang posisinya paling timur di kebupaten Sumenep.  Di kecamatan Dungkek terdapat pelabuhan yang menghubungkan dengan pulau-pulau di sebelah timurnya, seperti Giliyang, Sepudi, Raas, dan beberapa pulau lainnya. Menurut kabar pelabuhan ini sedang dijajaki untuk dijadikan pelabuhan internasional.

Posisi Desa Lapa Taman sebelah utara kecamatan Dungkek. Dari kota Sumenep kira-kira 1 jam naik kendaraan bermotor. Desa ini dekat dengan Lombang, desa wisata yang dikenal dengan pantai dan cemara udangnya. Lapa Taman tepatnya sebelah timur desa Lombang atau sebelah barat desa Lapa Dhaje. Desa ini memiliki luas Wilayah ÷= 6. 345 M2 dengan jummlah Penduduk, 2. 211 (data 2015). Sementara mayoritas mata Pencaharian rata rata Petani, Nelayan, dan pedagang.

Desa Lapa Taman sebagaimana saya singgung di awal tulisan, sekarang dijepit dua desa tetangganya, Lombang dan Lapa Dhaje, yang hektaran tanahnya sudah diambil alih investor. Di atas tanah itu setahunan ini sudah dibangun tambak udang. Tentu berdirinya tambak udang berpengaruh kepada warga desa lapa taman, terutama limbahnya.

Tentu yang membahagiakan, meski tanah dua desa tetangganya berhasil "diacak acak" investor, warga Desa Lapa Taman justru menolak investor dan memilih menjaga kehormatan dan kedaulatan tanahnya. Jika ada sebagian tanah yang lepas ke tangan investor, itu milik orang luar desa Lapa Taman yang tanahnya ada di desa Lapa Taman. Kalau warga Lapa Taman sendiri berkomitmen tidak mau tergiur dan melepas tanahnya kepada para investor. Warga desa itu memiliki kesadaran luar biasa bahwa tanah yang mereka tinggali untuk anak cucu, bukan untuk orang asing yang nanti akan menindasnya. Ini kesadaran sejati dari pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam video dokumenter yang diinisiasi oleh pegiat agraria di Sumenep, keapala Desa Lapa Taman, Aburaera, menjelaskan pengalaman warga yang dialami pada masa lalu telah menjadi guru yang sangat berharga. Kesesadaran warga menjaga kedaulatan tanah karena dahulu mereka punya pengalaman, tanah mereka dikuasai oleh pemodal desa lain yang mengolah garam di desa Lapa Taman. Menurutnya, ketika itu untuk menjadi buruh saja orang Lapa Taman harus menyogok kepada pemilik lahan. Bayangkan, sekedar mau jadi baruh saja harus nyogok. Warga Lapa Taman justru diturunkan derajat kemanusiannya di tanah kelahiran mereka sendiri. Apalagi jika tanah mereka "dijarah" investor luar, tentu mereka akan makin sengsara.

Pengalaman pahit yang mereka gumuli akibat alat produksi mereka yang berupa tanah dikuasai orang lain mendorong mereka membeli kembali tanah mereka yang dulu terjual. Semua tanah yang dikuasai orang luar mereka beli kembali.  Kedaulatan tanah akhirnya dibawah kontrol warga kembali. Dan mereka kembali berdaulat di daerahnya sendiri.

Inilah pengalaman yang mereka ingat. Pengalaman yang tak mau mereka alami kembali. Makanya, di desa Lapa Taman tanah-tanah terlindungi dan terjaga hingga sekarang, suatu kenyataan yang sangat kontras dengan desa Lapa Dhaje dan Desa Lombang, dua desa yang mengapitnya, dimana tanah-tanah di dua desa sudah ludes diambil alih investor yang saat ini dialihfungsikan sebagai tambak udang.

Ketika saya dan beberapa kawan pegiat agraria berkunjung ke desa ini, kami ngobrol dengan anak muda dan aparat desa. Suara mereka sama, menjaga kedaulatan tanah. Tanah-tanah mereka masih subur. Di atasnya tumbuh pohon kelapa yang menyumbang bagi kehidupan mereka sehari-hari. Desa ini memang dikenal sebagai pemasok kelapa, termasuk kelapa "kopyor" yang harganya bisa 25-30 ribu perbutir.

Di desa ini juga ada (sisa) tanah perdikan. Jika mengacu pada tradisi Jawa, tanah perdikan adalah tanah pemberian raja kepada tokoh agama untuk melangsungkan pendidikan agama. Tanah perdikan ini dahulu tidak dibebani pajak oleh raja. Tanah ini sekarang dikelola oleh keluarga juru kunci para raja. Kuat dugaan,  Lapa Taman dahulu tempat para santri belajar agama.

Tak jauh dari desa itu, ada asta gurang-garing (syekh mahfudz) yang masih keturunan pangeran katandur (Syekh Baidhowi)  dan masih seketurunan dengan pangeran Paddusan, dimana semuanya masih keturunan Sunan Kudus. Letaknya yang tidak jauh dari laut yang menghubungkan jawa-madura-kalimantan menjadikan desa ini dahulu banyak dikunjungi para perantau yang suku da rasnya berbeda-beda, dan jejaknya bisa dilihat sekarang, yaitu banyaknya makam-makam tua yang jumlahnya barangkali melebihi jumlah penduduknya.

Saya senang, beberapa anak muda dan warga di desa ini juga terlibat dalam gerakan kedaulatan tanah yang saat ini gencar disuarakan anak anak muda di Sumenep. Saat ini mereka sedang menghadapi masalah. Di Desa ini ada bangunan penampung limbah milik perusahaan tambak udang yang dibangun di desa sebelahnya, Lombang.  Aparat desa dan warga desa ini protes. Di samping mengganggu warga, bangunan ini tidak memiliki IMB, ketika membangun juga tidak pernah koordinasi dengan pemerintahan desa, juga tidak mendapat persetujuan warga. Saat ini mereka tengah mempersiapkan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah yang bikin geram warga ini.

Lepas dari masalah yang sedang dihadapi, semoga desa ini tetap damai dan mampu menahan gempuran investor yang terus mengintai tanah-tanah mereka.

Secara tulus, hormat saya buat semua warga Desa Lapa Taman. Merdeka!!!

Pulau Garam I 17 Agustus 2017