Posted by rampak naong - -







Selang dua tahun saja, tanah pertanian di desa Andulang Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep berpindah ke tangan Investor. Luasnya sekitar 15 ha (ada yang mengatakan 20 ha). Tanah itu dibeli dengan harga murah berkisar 15 - 25 ribu per meter. Harga jual itu jauh di bawah NOJP (nilai objek jual pajak).

Di tanah itulah saat ini telah dibangun tambak udang milik CV Madura Marina Lestari. Perusahaan yang orang desa pun tidak tahu siapa pemiliknya dan dari mana berasal. Tahunya warga cuma satu hal, lahan yang dulu ditanami padi, kacang hijau dan kacang tanah sekarang telah dialihfungsikan menjadi tambak udang,  makanan orang kaya yang justru berada di luar desa mereka.

Perusahaan tambak yang berdiri gagah itu ternyata menyisakan masalah bagi ibu Amma (55 th) dan ibu Azizah (35 th). Dua ibu yang memiliki tanah seluas 1450 ha ini, sekarang 7malang. Tanah dua ibu ini berada di tengah-tengah tanah perusahaan yang luasnya 20 ha. Pas di tengahnya. Meski tanah semua para tetangganya dijual kepada perusahaan, tanah milik dua ibu ini dipertahankan. Meski dibujuk dan dirayu agar dijual, tapi dua ibu ini tetap tak mau.

Sejak tambak dibangun, akses ke sawah miliknya ditutup karena di sekeliling tambak telah dibangun pagar . Pemiliknya tidak lagi dengan mudah bisa menyambangĂ® sawahnya. Satu-satunya akses hanya melalui pintu utama yang dijaga security. Secara psikologis, tentu pemiliknya berbeda jika lewat pintu utama ini. Perasaan khawatir tak terhindarkan. Aneh memang. Mau ke sawah sendiri justru dihinggapi perasaan khawatir. Satu bukti, bahwa kehadiran investor ke desa justru membuat warga desa terasing dengan lingkungannya sendiri.

Selama 2 tahun, sawah itu tidak lagi ditanami. Bagaimana mau menanam, akses air ke sawah itu juga putus karena sekelilingnya dikepung tambak. Pengairan tak lagi berfungsi sejak tambak berdiri. Sementara di area tambak itu hanya tersisa 1450m2 tanah milik ibu-ibu ini.

Pada hal sawah ini menjadi tempat bergantung ekonomi pemiliknya. Dulu di sawah ini padi dan kacang-kacangan tumbuh subur. Dalam 1 tahun bisa ditanami hingga 3 kali masa tanam secara bergantian, antara padi dan kacang-kacangan. Pertanda bahwa lokasi tambak adalah lahan pertanian produktif, sesuatu yang berlawanan dengan isu yang dikembangkan investor yang menyebut tanah di situ tidak produktif. Sekarang sawah ibu-ibu dibiarkan terbengkalai. Tentu kehadiran tambak telah memberikan kerugian sosial-ekonomi yang tidak main-amin bagi pemiliknya.

Belum lagi kekhawatiran bahwa tanah ini selamanya tidak akan bisa ditanami, karena limbah tambak yang mengepungnya akan mencemari kualitas sawah. Sawah tidak akan lagi produktif. Sawah sekedar menjadi gundukan tanah yang mungkin suatu waktu akan menjadi "monumen" bahwa kehadiran tambak telah melenyapkan alat produksi yang paling vital bagi petani, tanah.

Meski demikian, pemiliknya tetap berkomitmen untuk tidak menjual tanah ke pihak investor. Tak akan. Setidaknya itulah yang saya dengar. Banyak alasan yang mengemuka mulai sejak alasan sosial-budaya hingga alasan supra-rasional.

Tanah itu adalah teman hidup. Tempat mencari rizki Allah. Tempat berusaha dan mencari mata pencaharian. Tentu, sawah bisa dijual dan pemiliknya bisa memperoleh banyak uang. Tapi uang akan habis. Sementara tanah tidak mudah habis. Di atas tanah itu, pemiliknya bisa mengolah dan menanaminya. Dengan demikian pemiliknya menjadi subyek. Beda jika dijual ke pihak investor, pemiliknya bisa menjadi kuli, sekedar menjadi obyek.

Bagi pemiliknya, tanahnya adalah "tana sangkol". Tana sangkol bukan sekedar tanah warisan yang dengan mudah diperjualbelikan. Tana sangkol adalah lokus, tempat bertemunya ruang masa lalu dan sekarang. Tempat pemilik sekarang dengan pemilik masa lalu mempersatukan ikatan batinnya. Tempat generasi sekarang dengan para leluhurnya mencari jejak untuk saling mengingat. Jadi tana sangkol bukan sekedar gundukan tanah yang tidak bermakna. Bahkan dalam taraf tertentu ada kepercayaan, melepas tana sangkol akan menuai cobaan hidup.

Alasan lain yang supra-rasional, tanah ini berbeda dengan tanah yang di sekelilingnya terjual ke investor. Tanah ini mengandung nilai "magis", aneh dan tak bisa dilogikakan. Setiap musim padi, tak ada burung yang memakan padi di sawah ini. Burung-burung hanya memakan padi di sawah-sawah lainnya. Boleh Anda percaya, boleh tidak. Tetapi itulah kesaksian pemiliknya.

Saat ini, dua ibu ini yang didampingi menantunya sedang berjuang mencari keadilan. Beberapa hari lalu datang ke komisi 2 DPRD Sumenep mengadukan tanahnya yang malang. Tuntutannya sederhana, buka akses ke sawahnya dan jangan cemari sawahnya dengan limbah. Mereka hanya mau bertani seperti sebelum tambak berdiri. Itu saja.

Saya mengapresiasi perjuangannya. Tentu tidak mudah baginya menuntut keadilan. Yang mereka lawan struktur besar, modal dan (mungkin) kekuasaan. Apalagi setelah datang investor, rakyat desa terbelah. Ada yang pro, ada yang kontra. Bisa jadi perjuangan pemilik tanah ini memperoleh "cibiran" justru di desanya sendiri.

Sekali lagi, ini adalah fakta. Di daerah-daerah yang tanahnya jatuh ke tangan investor, bukan berarti tidak ada masalah, meski warganya diam. Sayang, soal ini tak dicermati oleh pemerintah daerah yang tanpa ada kajian mendalam begitu mudah memberi ijin bagi perusahaan. Teruslah berjuang ibu.

Salam

Pulau Garam l 27 oktober 2016