Posted by rampak naong - -


(Tulisan ini saya buat setahun lalu
baru saya share tahun ini)

Mendengar kabar KH Abdul Muchith Muzadi wafat (6/9/2015) melalui pesan singkat yang saya terima dari HA Pandji Taufik sekitar jam 08.00 saya langsung lemas. Satu lagi, meminjam istilah orang Madura untuk menggambarkan wafatnya ulama,   "pakona dunnya" (pakunya bumi) tiada.

Saya mendengar kabar wafatnya kyai Muchith ketika  saya hendak mengisi kegiatan sharing tentang "parenting" bersama ibu-ibu desa. Sebelum memulai sharing, kami sempatkan menghadiahi surah Al Fatihah kepada kyai Muchith, murid langsung junjungan kami Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari yang juga dkenal pakar Khittah NU itu.

Wafatnya kyai Muchith yang kondisi kesehaatannya terus menurun paska muktamar NU, membuka kembali ingatan saya ketika saya berkesempatan sowan bersama ketua pcnu sumenep, kawan aktivis PMII dan IPNU di tahun 2014. Kami berenam dari Sumenep bisa sowan kepada beliau berkat bantuan Pak Wazir, ketua PW LPPNU Jatim yang memang dekat dengan kekuarga kyai Mukhith.

Saat bertemu, saya mengalami kebahagian luar biasa. Saya saat itu seperti berhadapan dengan sebuah telaga yang menyemburkan kesejukan sekaligus memompa segenap tradisi yang mengendap di alam bawah sadar saya. Saya ciumi tangan beliau agak lama. Bukan semata karena tradisi, tetapi melampaui itu. Tangan kyai muchit yang saya ciumi seperti mepertautkan sanad keilmuan yang saya terima dari guru-guru di pesantren dan menyambungkan ke-NU-an saya dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari secara langsung. Melalui perjumpaan dengan kyai Mukhit seo!ah saya makin dekat dengan kyai Hasyim Asy'ari. Saya bersebelahan saja. Niat saya untuk mengabdikan hidup-mati saya di NU makin mebuncah.

Ketika berbincang, saya dengan segenap jiwa mencoba mengeja dawuh beliau. Banyak hal yang disampaikan, sejak pengalamannya mondok di Jombang, perjalanan hidup beliau sebagai seorang santri yang meyakini barokah, kegembiraan beliau melihat cucunya mau mondok di pesantren, hingga nasehat be!iau kepada kami yang akan sekuat tenaga saya ingat terus.

Di usianya yang waktu saya sowan kurang-lebih 90 tahun, kyai Mukhith seolah tidak mempedulikan fisiknya. Beliau masih tekun membaca. Kitab dan buku berjejer di ruang pribadinya. Menurut putranya, bahkan beliau pernah terjatuh di toko kitab saat ingin membeli kitab. Kyai Mukhith tipikal kyai yang haus ilmu, dan itu ditunjukkan dengan kegemaran membaca hingga beliau wafat. Termasuk mengikuti perkembangan NU dari kamar istirahatnya yang juga di!engkapi dengan tabung oksigen.

Nasehat yang sungguh menyentuh dan memompa ke-NU-an saya tentang "perintahnya" agar kami mencintai kyai, NU, dan NKRI. Kami memang tidak memperoleh penjelasan panjang tentang makna mncintai itu, terutama mencintai kyai. Tetapi kyai Muchith mungkin memberi ke!uluasaan bagi kami untuk memberi tafsir. Sehingga pesannya cukup singkat agar mudah saya ingat.

Saya sadar, relasi anak muda NU dan para santri dengan kyainya mengalami perubahan. Sebagian para santri telah mepertontonkan prilaku "suul adab" kepada kyainya. Mengkritik kyai secara kasar, mengkajinya dengan pendekatan teori-teori kiri/liberal, atau macam macam perbincangan yang sungguh tak elok dipertontonkan para santri. Ada judul buku yang melihat judulnya saja membuat saya terbelalak, sebut saja buku "Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan" atau "Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura".

Belum lagi serangan dari luar yang saya yakini "by design" dilancarkan untuk membabat kyai dari basis kulturalnya. Maka (citra) kyai saat ini sengaja dirontokkan, diburamkan, dihasut, dicaci dan akhirnya ingin dijauhkan dari basisnya. Ketika berhasil kelompok itu bebas menerkam basis kyai, mencengkramnya untuk kepentingan politik atau kapital.

Ada lagi gerakan keagamaan yang membabat kyai dengan isu "kembali kepada Alqur'an dan Hadits". Seolah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Alqur'an dan Hadits tanpa repot-repot mengaji kepada kyai. Tanpa ilmu yang memadai mereka menafsirkan dua sumber di atas sesukunya. Makanya, penafsiran mereka sangat kaku dan rigid.

Sekali lagi saya tidak menyimpulkan apakah pesan kyai Muchith selaras dengan penafsiran saya. Tetapi kata mencintai memiliki makna mendalam. Diksi ini dipilih oleh kyai Muchith, mungkin, karena mencintai adalah tindakan yang melampaui rasionalitas, bahkan pengetahuan. Meski saya sadar, mencintai juga butuh pengetahuan walaupun pengetahuan terkadang tumpul untuk menicintai.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiiun. Selamat Jalan Kyai Muchith. Semoga saya bisa menjalankan pesan, mencintai Kyai, NU, dan NKRI.

Pulau Garam l 7 September 2015